Senin, 27 April 2015

BLANDONGAN


14084526811783474895 

Betawi merupakan salah satu etnis yang menghuni wilayah Kota Tangerang Selatan. Keberadaan etnis Betawi menjadi etnis utama yang memiliki sejarah panjang di Kota yang baru berusia 4 tahun ini. Berbeda dengan, kabupaten induknya, Tangerang, yang secar historis memiliki keragaman dengan adanya etnis Sunda, Jawa, Betawi, Cina, dan Melayu. Secara geografis, sebaran etnis di wilayah Tangsel memang didominasi oleh etnis Betawi.
Namun, perlu dipahami bahwa etnis Betawi di Tangsel secara kultural memiliki perbedaan dengan etnis Betawi yang kita kenal selama ini. Orang Betawi di Tangsel mengidentifikasi dirinya dengan sebutan ‘betawi ora’ sebagai upaya untuk membedakan kulturnya dengan etnis Betawi mainsteam yang eksis di wilayah Jakarta. Betawi Ora, merupakan kelompok orang Betawi yang tinggal jauh diluar wilayah Ommelanden Batavia dulu. Hal ini juga berdasarakan, latar historis wilayah Tangerang yang dulu merupakan batas wilayah antara kesultanan Banten dengan VOC (Batavia). Bahkan kata, Tangerang sendiri memiliki arti “tanda” dalam bahasa Sunda, yang secara harfiah bermakna tanda batas antara dua pemerintahan tersebut. Dengan posisinya itu, orang Batawi Ora ialah mereka yang terpinggirkan baik secara geografis maupun kebudayaan.
Orang Betawi Ora pun mengembangkan kebudayaan yang berbeda dengan betawi yang ada di Batavia. Salah satu perbedaan yang ada ialah mengenai perbedaan arsitektur rumah betawi yang ada di wilayah Tangsel dengan yang ada di Batavia. Secara umum, arsitektur rumah betawi yang dikenal selama ini ialah yang terdapat Situ Babakan. Bedasarkan identifikasi awal pemerintahan Tangsel, diketahui bahwa bentuk rumah Orang Batawi Ora memiliki kekhasan dari bagian terasnya yang disebut dengan ‘blandongan’. Blandongan inilah yang akhirnya dijadikan sebagai simbol utama dalam logo resmi pemerintah Kota Tangerang Selatan.
Blandongan merupakan bangunan dibagian depan dari rumah Orang Betawi Ora, bangunan terbuka tanpa dinding yang bertumpu pada tiang-tiang yang berada dipinggir-pinggirnya. Secara spesifik pada tahun 2012, Ratu Arum Kusumawardhani melakukan penelitian mengenai blandongan dalam hal arsitekturnya. Dari penelitian tersebut banyak diketahui berbagai otentisitas blandongan sebagai bukti keragaman etnis Betawi di wilayah Jabodetabek. Etnis Betawi dan kebudayaannya tidak bisa dianggap tunggal di setiap tempat termasuk di wilayah yang kini masuk kedalam administratif Kota Tangerang Selatan.
Perubahan fungsi lahan yang disebabkan oleh semakin tehubungnya wilayah Tangsel dengan pusat kota Jakarta. Tangsel menjadi kota penyangga Jakarta, khususnya sebagai daerah pemukiman. Kini eksistensi blandongan semakin menyusut, bahkan hampir punah. Kampung Bulak, Benda Baru Kecamatan Pamulang merupakah salah satu wilayah yang sampai saat ini masih terdapat beberapa rumah yang masih ada blandongan-nya. Kampung yang terjepit diantara perumahan Vila Dago dan Kompleks Pamulang dua ini, masih menujukan sisa-sisa sistem tata ruang yang khas Betawi Ora, termasuk arsitektur rumahnya. Selain di Benda Baru, menurut Kusumawardani ada eksistenis blandongan juga masih dapat dijumpai di Parung Beunyin dan Kampung Jati.
Keluarga Bapak Haji Sanan di Kampung Bulak mempertahankan blandongan menjadi bagian integral dari rumahnya. Sebagaimana foto di bawah ini, blandongan nampak serasi dengan bangunan rumahnya yang masih mempertahankan arsitektur betawi lama, lengkap dengan jendela kayu dan sedikit anyaman bambu yang dijadikan dinding rumah. Lantai blandongan Bagi masyarakat Betawi Ora Tangsel, blandongan memiliki banyak fungsi. Sebagai teras rumah, salah satu fungsi utamanya ialah untuk menerima tamu yang datang. Di dalam bagian blandongan, biasanya terdapat balai (bale) untuk duduk-duduk santai penghuni dalam melakukan aktifitas sehari-hari, seperti menyiapkan masakan, mejaga anak bermain, dan berbincang dengan tetangga. “blandongan kalau dulu itu biasanya dipakai untuk tempat naroh gendongan anak-anak supaya bisa diayun dan tidur di situ, biasanya juga blandongan itu tempat untuk buat dodol dan uli, karena tempatnya luas” kata Sumirat pemuda setempat berusia 28 tahun.
Hal ini sesuai dengan penejelasan Kusumawardhani yang menjelaskan bahwa blandongan merupakan zona publik dalam bangunan rumah Betawi Ora, sedangkan bagian lainya yang tertutup merupakan zona privat. Sehingga aktifitas mereka di siang hari lebih banyak dilakukan pada bagian blandongan ini.
Blandongan terkait dengan pekerjaan masyarakat Batawi Ora yang sebagian besar pada waktu itu berkebun dan berladang. Blandongan menjadi tempat sentral dalam memperisiapkan masa tanam, merawat, dan memanen hasi kebun. Posisi rumah Orang Betawi Ora, biasanya tidak jauh dengan kebun-kebun mereka, sehingga aktifitas berkebun dapat dilakukan dari dekat. Diketahui, sejak dulu wilayah Tangsel merupakan tanah perkebunan, baik sejak tanah partikelir (tanah yang disewakan oleh Pemerintah Kolonial kepada pengusaha) hingga perkebunan karet yang berakhir pada pertengahan tahun 1990-an. Kini, di wilayah Benda Baru, sebagian masyarakat masih berkebun tanaman pangan dan bunga anggrek untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Walaupun pekerjaan ini sudah semakin tergerus karena minimnya lahan perkebunan yang semakin banyak digantikan oleh perumahan-perumahan.
Eskistensi blandongan ini menjadi bukti bahwa Orang Betawi Ora merupakan entitas kultural sendiri yang dapat dibedakan dengan Etnis Betawi yang dikenal pada umumnya. Betawi Ora. Pemerintah Kota Tangerang Selatan pun sesungguhnya sudah menyadari hal ini, sebagai buktinya ialah menjadikan blandongan sebagai simbol resmi. Namun, sayangnya ditengah semakin minimnya blandongan, pemerintah daerah belum melakukan upaya nyata untuk melestarikan produk budaya yang sangat penting ini.
 
 
Blogger Templates