Betawi
merupakan salah satu etnis yang menghuni wilayah Kota Tangerang Selatan.
Keberadaan etnis Betawi menjadi etnis utama yang memiliki sejarah
panjang di Kota yang baru berusia 4 tahun ini. Berbeda dengan, kabupaten
induknya, Tangerang, yang secar historis memiliki keragaman dengan
adanya etnis Sunda, Jawa, Betawi, Cina, dan Melayu. Secara geografis,
sebaran etnis di wilayah Tangsel memang didominasi oleh etnis Betawi.
Namun,
perlu dipahami bahwa etnis Betawi di Tangsel secara kultural memiliki
perbedaan dengan etnis Betawi yang kita kenal selama ini. Orang Betawi
di Tangsel mengidentifikasi dirinya dengan sebutan ‘betawi ora’ sebagai
upaya untuk membedakan kulturnya dengan etnis Betawi mainsteam yang
eksis di wilayah Jakarta. Betawi Ora, merupakan kelompok orang Betawi
yang tinggal jauh diluar wilayah Ommelanden Batavia dulu. Hal ini juga
berdasarakan, latar historis wilayah Tangerang yang dulu merupakan batas
wilayah antara kesultanan Banten dengan VOC (Batavia). Bahkan kata,
Tangerang sendiri memiliki arti “tanda” dalam bahasa Sunda, yang secara
harfiah bermakna tanda batas antara dua pemerintahan tersebut. Dengan
posisinya itu, orang Batawi Ora ialah mereka yang terpinggirkan baik
secara geografis maupun kebudayaan.
Orang
Betawi Ora pun mengembangkan kebudayaan yang berbeda dengan betawi yang
ada di Batavia. Salah satu perbedaan yang ada ialah mengenai perbedaan
arsitektur rumah betawi yang ada di wilayah Tangsel dengan yang ada di
Batavia. Secara umum, arsitektur rumah betawi yang dikenal selama ini
ialah yang terdapat Situ Babakan. Bedasarkan identifikasi awal
pemerintahan Tangsel, diketahui bahwa bentuk rumah Orang Batawi Ora
memiliki kekhasan dari bagian terasnya yang disebut dengan ‘blandongan’.
Blandongan inilah yang akhirnya dijadikan sebagai simbol utama dalam
logo resmi pemerintah Kota Tangerang Selatan.
Blandongan
merupakan bangunan dibagian depan dari rumah Orang Betawi Ora, bangunan
terbuka tanpa dinding yang bertumpu pada tiang-tiang yang berada
dipinggir-pinggirnya. Secara spesifik pada tahun 2012, Ratu Arum
Kusumawardhani melakukan penelitian mengenai blandongan dalam hal
arsitekturnya. Dari penelitian tersebut banyak diketahui berbagai
otentisitas blandongan sebagai bukti keragaman etnis Betawi di wilayah
Jabodetabek. Etnis Betawi dan kebudayaannya tidak bisa dianggap tunggal
di setiap tempat termasuk di wilayah yang kini masuk kedalam
administratif Kota Tangerang Selatan.
Perubahan
fungsi lahan yang disebabkan oleh semakin tehubungnya wilayah Tangsel
dengan pusat kota Jakarta. Tangsel menjadi kota penyangga Jakarta,
khususnya sebagai daerah pemukiman. Kini eksistensi blandongan semakin
menyusut, bahkan hampir punah. Kampung Bulak, Benda Baru Kecamatan
Pamulang merupakah salah satu wilayah yang sampai saat ini masih
terdapat beberapa rumah yang masih ada blandongan-nya.
Kampung yang terjepit diantara perumahan Vila Dago dan Kompleks
Pamulang dua ini, masih menujukan sisa-sisa sistem tata ruang yang khas
Betawi Ora, termasuk arsitektur rumahnya. Selain di Benda Baru, menurut
Kusumawardani ada eksistenis blandongan juga masih dapat dijumpai di
Parung Beunyin dan Kampung Jati.
Keluarga Bapak Haji Sanan di Kampung Bulak mempertahankan blandongan
menjadi bagian integral dari rumahnya. Sebagaimana foto di bawah ini,
blandongan nampak serasi dengan bangunan rumahnya yang masih
mempertahankan arsitektur betawi lama, lengkap dengan jendela kayu dan
sedikit anyaman bambu yang dijadikan dinding rumah. Lantai blandongan
Bagi masyarakat Betawi Ora Tangsel, blandongan memiliki banyak fungsi.
Sebagai teras rumah, salah satu fungsi utamanya ialah untuk menerima
tamu yang datang. Di dalam bagian blandongan, biasanya terdapat balai
(bale) untuk duduk-duduk santai penghuni dalam melakukan aktifitas
sehari-hari, seperti menyiapkan masakan, mejaga anak bermain, dan
berbincang dengan tetangga. “blandongan
kalau dulu itu biasanya dipakai untuk tempat naroh gendongan anak-anak
supaya bisa diayun dan tidur di situ, biasanya juga blandongan itu
tempat untuk buat dodol dan uli, karena tempatnya luas” kata Sumirat pemuda setempat berusia 28 tahun.
Hal ini
sesuai dengan penejelasan Kusumawardhani yang menjelaskan bahwa
blandongan merupakan zona publik dalam bangunan rumah Betawi Ora,
sedangkan bagian lainya yang tertutup merupakan zona privat. Sehingga
aktifitas mereka di siang hari lebih banyak dilakukan pada bagian
blandongan ini.
Blandongan
terkait dengan pekerjaan masyarakat Batawi Ora yang sebagian besar pada
waktu itu berkebun dan berladang. Blandongan menjadi tempat sentral
dalam memperisiapkan masa tanam, merawat, dan memanen hasi kebun. Posisi
rumah Orang Betawi Ora, biasanya tidak jauh dengan kebun-kebun mereka,
sehingga aktifitas berkebun dapat dilakukan dari dekat. Diketahui, sejak
dulu wilayah Tangsel merupakan tanah perkebunan, baik sejak tanah
partikelir (tanah yang disewakan oleh Pemerintah Kolonial kepada
pengusaha) hingga perkebunan karet yang berakhir pada pertengahan tahun
1990-an. Kini, di wilayah Benda Baru, sebagian masyarakat masih berkebun
tanaman pangan dan bunga anggrek untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Walaupun pekerjaan ini sudah semakin tergerus karena minimnya lahan
perkebunan yang semakin banyak digantikan oleh perumahan-perumahan.
Eskistensi
blandongan ini menjadi bukti bahwa Orang Betawi Ora merupakan entitas
kultural sendiri yang dapat dibedakan dengan Etnis Betawi yang dikenal
pada umumnya. Betawi Ora. Pemerintah Kota Tangerang Selatan pun
sesungguhnya sudah menyadari hal ini, sebagai buktinya ialah menjadikan
blandongan sebagai simbol resmi. Namun, sayangnya ditengah semakin
minimnya blandongan, pemerintah daerah belum melakukan upaya nyata untuk
melestarikan produk budaya yang sangat penting ini.